Cukuplah Kematian Itu Sebagai Penasehat


“Aku ingin hidup seribu tahun lagi !”. Puisi Chairil Anwar ini sebenarnya jauh hari sebelumnya telah tertulis dalam Al-Quran yang melukiskan keinginan  sekelompok  manusia  untuk hidup selama itu : “Iblis berhasil  merayu  Adam  dan Hawa   melalui   pintu keinginan   untuk   hidup   kekal selama-lamanya”.  [QS. Al-Baqarah : 96].
Dalam ayat yang lainnya : "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk ?” [QS. Thaha : 120].
Banyak faktor yang membuat seseorang takut akan kematian, sehingga mereka merasa cemas dan takut menghadapi kematian :
1.       Tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian.
2.       Menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan didapati nanti.
3.       Membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati.
4.       Khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan.
5.       Tidak mengetahui makna hidup dan mati, dll.
sehingga mereka merasa cemas dan takut menghadapi kematian.
Kematian itu sesuatu yang mesti terjadi pada seseorang, walaupun ia berusaha menghindari kematian atau berusaha bersembunyi dan berlindung di tempat yang dikira aman : "Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”.  [QS. An-Nisa : 78].
Pada dasarnya setiap manusia itu mengalami dua kali kematian dan dua kali kehidupan. Kematian yang pertama ialah sebelum kita dihidupkan di muka bumi ini dan kematian kedua waktu kita mengakhiri kehidupan ini. Kehidupan pertama ialah waktu kita hidup di dunia ini yang bersifat sementara dan kehidupan kedua adalah waktu kita dibangkitkan di akhirat nanti. 
"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan-Nya, kemudian dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan?"  [QS. Al-Baqarah : 28]. 
Konon Socrates pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-ilal wa An-Nihal (I:297), “Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi)  kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan ehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira engan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup.”
Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Mereka menganggap bahwa kematian hanya akan terjadi ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak ingin memikirkan tentang kematian dirinya yang tidak menyenangkannya ini. Sekalipun begitu ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-orang menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya tetapi tidak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu sedang menunggunya!
Karena itu, sebagian manusia memilih untuk tidak memikirkan kematian. Mereka memfokuskan diri menjalani hidup, bagaimana merencanakan hidup ini dan terus berusaha mewujudkan rencana itu. Maka ketika kematian datang, semua “kenyataan” dalam hidup menjadi lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan “hari-hari indah” di dunia ini. Semasa hidup, kita dengan leluasa dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan anda, berbicara, tertawa. Dan coba kita renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti… ??!
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan bagi manusia, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. [QS. Al- Kahfi : 7].
 “Dunia ini panggung Sandiwara…” sekelumit lirik dari Achmad Albar yang diciptakan Ian Antono yang menggambarkan bahwa kehidupan dunia dapat diumpamakan seperti sebuah pentas sandiwara dan kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, selesailah sudah permainan tersebut. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Kita akan bangga ketika mendapat peran sebagai orang kaya dan kita akan menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi  semua peran yang kita mainkan pasti memiliki durasi dan akan berakhir.
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia hanya sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya,  seolah ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.
Tanda kematian pun mulai menghampiri. Rambut mulai beruban, tenaga kian berkurang, wajah semakin keriput. Hidup tak ubahnya sebuah siklus : awal, berkembang  dan kemudian berakhir.
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam – tanamannya mengagumkan para petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.  [QS. Al-Hadid : 20].
Rasulullah SAW menggambarkan kehidupan dunia ini laksana ladang, addunya mazra'atul akhirah, ladang untuk menanam tanaman berdasarkan timbangan nalar manusia. Jika di dunia ini kita menanam (umpama) mangga maka di akhirat nanti kita akan mendapatkan buah mangga. Sebaliknya, jika kita menanamkan kopi, maka akan tumbuh buah kopi juga. Apabila seseorang menanam kebaikan, maka akan memperoleh balasan kebaikan pula, yakni surga. Sebaliknya, apabila menanam kejahatan maka buahnya juga kejahatan, yakni neraka.
"Secerdas-cerdasnya manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang benar-benar cerdas dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat”.  [HR. Ibnu Majah]
Untuk mengingat kematian dapat kita lakukan dengan cara :
1.    Berziarah kubur. Nabi SAW bersabda, “Berziarah kuburlah kamu, sebab ia dapat mengingatkanmu akan akhirat.”  [HR. Ahmad & Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al-Albani]
2.    Melihat mayat ketika dimandikan. 
3.    Menyaksikan orang-orang yang tengah sekarat dan menalqinkan mereka dengan kalimat syahadat. 
4.    Mengiringi jenazah, shalat atasnya serta menghadiri penguburannya. 
5.    Membaca Al-Qur'an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan akan kematian dan sakratul maut seperti ayat 19 surat Qaaf. 
6.    Uban dan Penyakit. Kedua hal ini merupakan utusan malaikat maut kepada para hamba. 
7.    Fenomena alam yang dijadikan Allah SWT untuk mengingatkan para hamba akan kematian seperti gempa, gunung meletus, banjir, badai dan sebagainya. 
8.    Membaca berita-berita tentang umat-umat masa lalu yang telah dibinasakan oleh maut.
 “Cukuplah kematian itu sebagai penasehat”.  [HR. Thabrani & Baihaqi].
 “Secerdas-cerdasnya manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang benar-benar cerdas dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat”.  [HR. Ibnu Majah]
Ingatlah, bahwa proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang. Rasa sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia hidup. Sebuah riwayat bahkan mengatakan bahwa rasa sakit sakaratul maut merupakan suatu proses pengurangan kadar siksaan akhirat kita kelak.
Sabda Rasulullah SAW : “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang”.  [HR. Tirmidzi].
Sabda Rasulullah SAW : “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?”  [HR. Bukhari]
Disamping itu tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan !!
Masih sombongkah diri dengan mengatasnamakan kesuksesan ketika meraih keberhasilan ? Masih patutkah kita membanggakan harta dengan sebutan kepemilikan ? Kita datang ke dunia dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Comments