Tradisi Bermaaf-maafan Sebelum Ramadhan

Dalam menyambut Ramadhan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda :

« أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ ». رواه النسائي

"Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya, dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka jahim serta dibelenggu pemimpin-pemimpin syaithan, di dalamnya Allah mempunyai satu malam yang lebih baik dari seribu bulan siapa yang dihalangi untuk mendapatkan kebaikannya maka ia telah benar-benar dihalangi dari kebaikan". [dari Abu Hurairah ra, diriwayatkan An-Nasa'i]

Saat ini kita sering membaca atau melihat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, padahal tidak ada dalil atau hadits shahih yang mewajibkan hal ini. Mari kita lihat darimana tradisi bermaaf-maafan sebelum bulan Ramadhan :

Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), Beliau mengatakan Amin sampai tiga kali dan para Shahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para Shahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. 

Ketika selesai Shalat Jum’at, para Shahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian Beliau bersabda : “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini”. Do’a Malaikat Jibril itu adalah : “Ya Allah tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut :

1. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada),
2. Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri,
3. Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Namun hadits ini tidak pernah menyebutkan periwayat hadits dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ahmad. 

Sedangkan dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah dan juga pada kitab Musnad Imam Ahmad berisikan hadits sebagai berikut :

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين قال الأعظمي : إسناده جيد
 
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam naik mimbar lalu bersabda : "Amin, Amin, Amin". Para Shahabat bertanya : “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah ?”

Kemudian Beliau bersabda : "Baru saja Jibril berkata kepadaku : ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan : ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata : ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka aku katakan : ‘Amin”.  [dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ahmad] 

Disini sangat terlihat jelas bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits yang berbeda. Entah siapa yang memulai membuat hadits pertama atau mungkin bisa jadi orang tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. Yang paling penting adalah hadits yang tidak memiliki asal-usulnya tersebut dan sebenarnya bukanlah hadits, tidak perlu kita amalkan karena
perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama. 
Namun Islam mengajarkan bahwa siapapun yang mempunyai kesalahan terhadap orang lain, pernah menyakiti atau mendzhalimi orang lain, maka bersegeralah meminta halal dan maaf karena dapat dilakukan kapan saja dan jangan menunggu hingga penyelesaiannya di hadapan Allah Ta’ala. 

Dan bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada Saudaranya dan belum menemukan moment yang tepat untuk meminta maaf dan menganggap moment menyambut Ramadhan adalah moment yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan moment ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah didzhalimi olehnya. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda :

عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ»

“Siapa yang pernah mempunyai kedzhaliman terhadap seseorang, baik terhadap kehormatannya atau apapun, maka minta halallah darinya hari ini !, sebelum tidak ada emas dan perak, (yang ada adalah) jika dia mempunyai amal shalih, maka akan diambil darinya sesuai dengan kedzhalimannya, jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambilkan dosa lawannya dan ditanggungkan kepadanya”. [dari Abu Hurairah ra, diriwayatkan oleh Bukhari]

Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf jika pernah melakukan kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui ? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian ? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. 

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa”. [HR. Ibnu Majah dan Baihaqi] 


Wallahu’alam.
(disadur dari berbagai sumber)

Comments