Kebenaran Bukan Pembenaran !

Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang senantiasa mengajak/menyerukan kepada Manusia menuju jalan kebenaran, jalan Allah dan Rasul-Nya. Dakwah merupakan sarana bagi Manusia dalam melakukan kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, agar memperoleh kebahagian hidup, di dunia maupun di akhirat kelak. 

Sebagaimana Allah  Azza wa Jalla berfirman :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". [al-Qur'an surah Ali Imran : 104]

Dalam berdakwah sangat diperlukan pemahaman terhadap agama dan harus sesuai dengan standarisasi yang berlaku dalam Islam; agar tidak terbalik dalam berjalan, maju dalam pemikiran tapi mundur dalam keimanan. 

Lihatlah bagaimana yang terjadi pada saat ini.. terjadi semacam kerancuan dalam standarisasi keabsahan pemahaman agama, sehingga timbul berbagai asumsi dan opini-opini yang menyesatkan dalam keyakinan beragama. Terkadang ada hal-hal yang kita anggap benar, tetapi tidak semuanya berdasarkan pada kebenaran. Terkadang hal-hal yang terlihat atau tampak benar, sebenarnya hanyalah berdasarkan pada pembenaran semata dan tidak semua kebohongan dan kesalahan terungkap kebenarannya.

Banyak diantara kita menjadikan gelar, kedudukan, kekayaan, ketenaran, kesepuhan, peninggalan kuno dan galian fosil sebagai standarisasi. Padahal hal tersebut bukanlah standarisasi untuk menentukan kebenaran dalam Islam. Sudah sepatutnya bagi seorang Muslim untuk mampu memilih dan memilah mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak, agar tidak terbalik dalam menilai sebuah permasalahan, yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Tentu untuk sampai pada titik penentuan pilihan tersebut harus mengenali standarisasinya. 

Islam memiliki standar yang valid dan akurat dalam menilai sebuah pandangan dan pendapat, sehingga pandangan dan pendapat itu berlaku kebenarannya dimana dan kapan saja; tanpa dibatasi oleh masa dan tempat tertentu. 

Beberapa standarisasi kebenaran dalam Islam : 

1. Berpegang kepada al-Qur’an.

Meyakininya sebagai Wahyu yang mutlak kebenarannya, maka segala pendapat dan pandangan yang bertentangan dan berseberangan dengan kebenaran al-Qur’an dinyatakan sesat dan bathil secara mutlak.

قاَلَ الشَّافِعِيُّ : «كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى اْلكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْحَدُّ الَّذِيْ يَجِبُ، وَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلىَ غَيْرِ أَصْلِ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ فَهُوَ هَذَيَانٌ» (أخرجه البيهقي في «مناقب الإمام الشافعي( 

Imam Syafi’i berkata : “Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan”. [Manaqib asy-Syafi’i : 470]  

قَالَ الْمُزَنِيْ وَالرَّبِيْعُ كُنَّا يَوْماً عِنْدَ الشَّافِعِيِّ إِذْ جَاءَ شَيْخٌ فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ قاَلَ الشَّافِعِيُّ سَلْ قاَلَ إِيْشٌ الْحُجَّةُ فِيْ دِيْنِ اللهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ كِتَابُ اللهِ، قاَلَ وَمَاذَا قاَلَ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ…” 

al Muzany dan ar-Rabî’ berkata : “Pada suatu hari saat kami berada di samping Imam Syafi’i, tiba-tiba datang seorang orang tua lalu ia berkata kepada Imam Syafi’i : 'Aku ingin bertanya'. Imam Syafi’i menjawab : 'Silakan'. Lalu ia berkata : 'Apakah hujjah dalam agama Allah Azza wa Jalla ?' Maka Imam Syafi’i menjawab : 'Kitab Allah Azza wa Jalla (al-Qur’an)'. Ia bertanya lagi : ‘Kemudian apa ?’ Imam Syafi’i menjawab : ‘Sunnah Rasulullahﷺ’“. [Ahkamul Qur’an : 39]

Lihatlah Imam Syâfi’i sangat mengagungkan al-Qur’an dalam berdalil. Menurut Imam Syafi’i mestinya setiap orang menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman saat menentukan sebuah hukum atau berpendapat. Jika hal ini ia dilakukan, maka pendapatnya berhak untuk diterima. Sebaliknya bila tidak pendapatnya adalah sebuah kebingungan. Orang tersebut adalah si bingung yang membuat kebingungan di tengah masyarakat. 

Betapa banyak tokoh terkemuka pada saat ini membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya. Baik dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang terlintas di benaknya, tanpa pertimbangan terlebih dahulu. 

2. Berpegang Pada Sunnah.

Sunnah memiliki ikatan erat dengan al-Qur’ân; kedua-duanya adalah wahyu yang wajib kita ikuti, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : 

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat” [al-Qur’an surah an-Najm : 3-5] 

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ 

“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”. [al-Qur’an surah al-Haqqah : 54-56] 

Dua ayat di atas menjelaskan kepada kita tentang kevalidan sunnah sebagai hujjah dalam agama Islam. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mewajibkan kita berpegang teguh kepada sunnah. 

Dalam pengamalannya, seorang Muslim tidak boleh membedakan-bedakan antara al-Qur’ân dan sunnah. Orang yang membeda-bedakan antara al-Qur’ân dan Sunnah dalam hal pengamalannya, sesungguhnya ia telah membeda-bedakan pula antara taat kepada Allah Azza wa Jalla dan taat kepada Rasul-Nya. Ini adalah sikap yang dianggap menyelisihi al-Qur’an itu sendiri, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla : 

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا 

”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-Rasul-Nya, dengan mengatakan : ‘Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (Iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”. [al-Qur’an surah an-Nisa : 150-151] 

Sebagai konsekuensi ketaatan kita kepada Rasulullah ﷺ’, kita wajib menerima semua yang Beliau perintahkan dan sampaikan, termasuk hadits-hadits yang berkategori ahad. 

Allah Azza wa Jalla berfirman : 

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا 

“Apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. [al-Qur’an surah al-Hasyr : 7] 

Orang yang menolak sunnah, niscaya mereka akan ditimpa oleh fitnah kesesatan waktu di dunia dan diancam azab yang pedih di akhirat. 

Allah Azza wa Jalla berfirman : 

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ 

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. [al-Qur’an surah an-Nur : 63] 

Jika terjadi perbedaan pandangan baik secara akidah maupun ibadah dan seterusnya; maka kita wajib mengembalikannya kepada al-Qur’an dan sunnah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [l-Qur’an surah an-Nisa`: 59] 

3. Dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah merujuk kepada pemahaman para Shahabat. 

Dalil yang mewajibkan kita untuk merujuk dalam memahami kitab dan sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shaleh, berikut di antaranya : 

Allah Azza wa Jalla berfirman : 

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Syurga-Syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.   [al-Qur’an surah at-Taubah :100] 

Rasulullah ﷺ bersabda : 

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ 

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka”.  [Muttafaq`alaihi] 

Sudah semestinya seorang Muslim berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah. Namun amat jarang orang memperhatikan Sunnah para Sahabat dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah tersebut. Terlebih lagi ketika terdapat perbedaan pendapat dalam permasalahan agama, mereka hanya mengemukakan pemahamannya sendiri atau menuruti pendapat Habib, Syech, Ustadz, Guru, figur dan pimpinan organisasinya. 

Rasulullah ﷺ bersabda : 

إِنَّ الْيَهُوْدَ اخْتَلَفُوْا عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَإِنَّ النَّصَارَى اخْتَلَفُوْا عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأَمَّةِ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً . قَالُوْا: مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: “ماَ أَناَ عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ” 

“Sesungguhnya orang Yahudi terpecah menjadi 71 golongan dan orang terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Seluruhnya masuk Neraka kecuali satu”. Sahabat bertanya : “Siapa mereka ya Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Apa yang aku berada di atasnya dan para Sahabatku”.  [HR at-Tirmidzi] 

Betapa indahnya ungkapan Imam Syafi’i rahimahullah tentang kedudukan Sahabat Radhiyallahu anhum : 

هُمْ فَوْقَنَا فِيْ كُلِّ عِلْمٍ وَعَقْلٍ وَدِيْنٍ وَفَضْلٍ وَكُلِّ سَبَبٍ يُنَالُ بِهِ عِلْمٌ أَوْ يُدْرَكُ بِهِ هُدًى وَرَأُيُهُمْ لَنَا خَيْرٌ مِنْ رَأْيِنَا ِلأَنْفُسِنَا 

“Mereka diatas kita dalam segala bidang ilmu, pemikiran, agama dan keutamaan. Serta dalam segala sebab yang diperoleh dengannya ilmu atau diketahui dengan petunjuk. Pendapat mereka lebih baik untuk kita, daripada pendapat kita sendiri untuk diri kita”. [Majmû’ Fatawa Ibnu Taimiyah : 4/158]

4. Berpegang Kepada Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para Ulama dalam satu masa terhadap sebuah hukum. Sumber ijma’ adalah al-Qur’ân dan Sunnah. Terjadinya ijma’ karena begitu banyak dalil dan penjelasan persoalan tersebut dalam agama. Tidak ada lagi keraguan tentang hal tersebut. Sehingga semua orang yang berilmu bersepakat dalam hal tersebut. Ini menunjukkan tentang kevalitannya untuk dijadikan hujjah. Karena tidak ada perbedaan dalam menetapkannya. Seperti ijma’ tentang bahwa al-Qur’ân terjaga keasliannya dan kemurniannya sampai hari kiamat. Bila ada orang yang melanggar kesepakantan ijma’ maka ia telah bertolak belakang dengan banyak dalil dan banyak Ulama. 

Imam Syafi’i menyebutkan tentang hujjah ijma’ dalam al-Qur’an berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla : 

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا 

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami palingkan ia kemana ia hendak berpaling dan Kami masukkan ia ke dalam Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [al-Qur’an surah an-Nisa` : 115] 

Demikian pula Rasulullah ﷺ bersabda : 

إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ 

“Sesungguhnya Umatku tidak akan pernah bersepakat di atas sebuah kesesatan”. [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah] 

Hadits ini menunjukkan bahwa kesepakatan para Ulama dalam menetapkan sebuah hukum amat jauh dari kesesatan. Bahkan telah dijamin oleh Rasulullah ﷺ tidak akan pernah terjadi ijma’ dalam sebuah kesesatan. 

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِيْ الرِّسَالَةِ وَمَنْ قَالَ بِمَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ لَزِمَ جَمَاعَتَهُمْ، وَمَنْ خَالَفَ مَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ جَمَاعَتَهُمُ الَّتِيْ أُمِرَ بِلُزُوْمِهَا، وَإِنَّمَا تَكُوْنُ الْغَفْلَةِ فِيْ الفُرْقَةِ، فَأَمَّا الْجَمَاعَةُ فَلاَ يُمْكِنُ فِيْهَا كَافَّةَ غَفْلَةٍ عَنْ مَعْنَى كِتَاٍب وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ قِياَسٍ، إِنْ شَاءَ الله.ُ انْتَهَى 

Imam Syafi’i berkata : “Barangsiapa yang berkata sesuai dengan apa yang dikatakan oleh jamaah (ijma’) orang Islam, maka berarti dia tetap konsiten dalam jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi apa yang dikatakan oleh jamaah (ijma’) orang Islam, maka berarti dia telah keluar dari jamaah mereka yang diperintahkan untuk tetap di dalamnya. Sesungguhnya kesalahan itu terdapat dalam berpecah-belah. Adapun jamaah maka tidak akan mungkin seluruhnya tersalah dalam memahami makna al-Qur’an dan Sunnah begitu pula Qiyas. Insya Allah”.  [ar Risalah hal. 475] 

5. Berdasarkan kepada qiyas yang shahih, sebaliknya tidak menyadarkan sebuah pemahaman kepada qiyas al-fasid. 

Qiyas yaitu menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya didalam al-qur’an dan hadist dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan nash. Contoh : larangan memukul dan memarahi orang tua. 

Di dalam al-Qur’an Allah Azza wa Jalla menjelaskan : “Dan janganlah kamu mengatakan Ah kepada kedua orang tuamu”. Sedangkan memukul dan memarahi orang tua tidak disebutkan. Jadi di qiyaskan oleh para Ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan “Ah” yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa. 


Ingatlah.. Manusia yang menegakkan kebenaran akan selalu berusaha mengintrospeksi dirinya, sedangkan Manusia yang selalu melakukan pembenaran terhadap segala sesuatu yang dilakukannya, akan selalu berusaha menutupi kesalahannya, entah itu karena gengsi, malu untuk mengakui kesalahan, atau karena sombong, hingga sulit menerima kebenaran yang disampaikan orang lain. 

Rasulullah ﷺ bersabda : “Orang yang pandai adalah yang mengekang jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang lemah adalah yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan banyak berangan-angan terhadap Allah”. [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Kebenaran akan membawa kemudahan dan kebahagiaan di akhirat kelak, sedangkan pembenaran atas kesalahan, hanya akan mempersulit di akhirat kelak.  Perhatikan Allah Azza wa Jalla berfirman berikut ini : 

إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ (١٢) يُنَبَّأُ الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ (١٣)بَلِ الإنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ (١٤) وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ (١٥

”Pada hari itu diberitakan kepada Manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan Manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya”.  [al-Qur'an surah al-Qiyaamah : 13-15]


"Kebenaran itu bersumber dari Allah Azza wa Jalla, 
sedangkan pembenaran itu bersumber dari Manusia !"

Comments