Bekerja Mencari Nafkah

Bekerja merupakan perintah Allah SAW dan menjadi kewajiban setiap manusia, semenjak masa Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad SAW. Nabi Daud as tidak makan melainkan dari hasil jerih payah kerja tangan beliau sendiri, Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu, Rasulullah SAW adalah seorang pedagang. Beliau bersabda : “Tidak seorang Rasul pun diutus Allah kecuali ia bekerja sebagai penggembala domba. Para sahabat bertanya : “Bagaimana dengan dirimu, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : “Ya, saya dulu mengembala domba untuk penduduk Makkah”. [HR. Bukhari]

Keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal dan berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarga dengan usaha sendiri merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh para Nabi dan orang-orang yang shaleh. Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud as makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)”. [dari al-Miqdam ra, diriwayatkan oleh Bukhari]. 


Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika sang suami akan melaksanakan ‘aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, seperti yang tersurat dalam al-Qur’an, Allah berfirman : “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah & pakaian mereka dgn cara yg patut. Seseorang tdk dibebani lbh dari kesanggupannya.” [Qs. al-Baqarah : 233]

Bahkan ketika terjadi perceraian, suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddahnya dan nafkah untuk mengurus anak-anaknya. Barangsiapa yang hidupnya pas-pasan atau dalam keadaan serba kekurangan, dia wajib memberikan nafkah menurut kemampuannya (disesuaikan dengan kadar rezeki yang telah Allah berikan kepada dirinya). 


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Dan orang yg terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya. Allah tdk membebani seseorang melainkan (sesuai) dgn apa yg diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”. [Qs. ath-Thalaq : 7] 

Photo : Amadeus Budiharsono


Dalam salah satu riwayat shahih, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya apabila seseorang di antara kalian mengambil tambang kemudian mencari kayu bakar dan diletakkan diatas punggungnya, hal itu adalah lebih baik baginya daripada ia mendatangi seseorang yang telah dikarunai keutamaan oleh Allah SWT, kemudian meminta-minta padanya, adakalanya diberi dan ada kalanya ditolak”. [HR. Bukhari dan Muslim]

Hadits ini menjelaskan tentang betapa pentingnya “bekerja” bagi seorang Muslim, walau hanya dengan mencari kayu bakar.

Mari kita lihat sebuah kisah pada zaman Rasulullah SAW... Diriwayatkan pada saat itu Rasulullah baru tiba dari perang Tabuk, banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang berhalangan dan ada uzur.

Saat mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah SAW berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah SAW melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. Rasulullah SAW bertanya : “Kenapa tanganmu kasar sekali ?”

Si tukang batu menjawab : “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar”.

Rasulullah SAW menggenggam tangan itu dan menciumnya seraya bersabda : “Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, ‘inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya‘.

Berdasarkan ayat ini pula, memberikan nafkah kepada isteri hukumnya adalah wajib. Sehingga dalam mencari nafkah, seseorang tidak boleh bermalas-malasan dan tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain serta tidak boleh minta-minta kepada orang lain untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya. Sebagai Kepala rumah tangga, seorang suami harus memiliki usaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai kemampuannya. Beberapa firman Allah SWT dalam memotivasi manusia agar senantiasa bekerja dalam kehidupannya :
  • “Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan kehidupan (bekerja)”. [Qs. Naba’ : 11] 
  • “Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan (bekerja). Tetapi sedikit sekali di antaramu yang bersyukur”. [Qs. A’raf : 10] 
  • “Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”. [Qs. al-Jum’at : 10] 
  • “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [Qs. al-Mulk : 15]
Kenapa kita harus bekerja ?
  1. Untuk memenuhi kebutuhan pribadi dengan harta yang halal, mencegahnya dari kehinaan meminta-minta dan menjaga tangannya agar tetap berada di atas. 
  2. Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga yang sejahtera. 
  3. Tanggung jawab seorang suami sebagai kepala keluarga adalah memberikan nafkah yang halal dan thayib bagi istri serta anak-anaknya. Seorang yang mencari nafkah untuk anaknya yang kecil itu sama dengan fisabilillah. 
  4. Walaupun seseorang tidak membutuhkan pekerjaan, karena kebutuhan diri dan keluargannya telah terpenuhui, ia tetap wajib bekerja untuk masyarakat sekitarnya.   
  5. Merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda : “Apabila hari kiamat telah datang dan pada tangan seseorang di antara kamu ada biji untuk ditanam, maka jika ia bisa menanam, tanamlah sebelum datang hari kiamat”. [dari Anas ra, diriwayatkan oleh Bukhari]
Dalam Islam bekerja diharapkan dapat memakmurkan bumi. Sedangkan memakmurkan bumi adalah bagian dari maqasidus syari’ah ajaran islam dan bermanfaat untuk seluruh makhluk hidup, termasuk hewan. Rasullah SAW bersabda : “Siapakah dari kaum Muslimin yang menanam tananam atau tumbuhan lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, kecuali baginya sedekah”. [Muttaffaqqun ‘alaih / HR. Bukhari dan Muslim]
 
Suatu ketika ada seorang tua renta bernama Abu Darda sedang menanam pohon kenari. Saat itulah lewat seseorang dan bertanya kepadanya : “Untuk apa kamu menananm pohon itu ? Kamu sudah tua, sedangkan pohon itu tidak akan berbuah kecuali sesudah sekian tahun”. Abu Darda menjawab : ”Alangkah senangnya hatiku bila mendapatkan pahala darinya, karena orang lain yang akan makan hasilnya”.  
Nafkah yang diberikan sang suami kepada isterinya, lebih besar nilainya di sisi Allah SWT dibandingkan dengan harta yang (walau) diinfaqkan di jalan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda : “Uang yang engkau infaqkan di jalan Allah, uang yang engkau infaqkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yang engkau infaqkan untuk orang miskin dan uang yang engkau infaqkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah uang yang engkau infaqkan kepada keluargamu”. 


Setiap yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada isterinya akan diberikan ganjaran oleh Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu”.  [HR. Bukhari]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ra menjelaskan : “Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah”. [Riyadhus Shalihiin]

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mesti ada prioritas dalam penyaluran harta. Yang utama sekali adalah kepada istri dan anak. Setelah kewajiban pada keluarga, barulah harta tersebut disalurkan pada zakat dan sedekah sunnah.

Kewajiban suami dalam mencari nafkah adalah :
  1. Nafkah kepada keluarga lebih afdhol dari sedekah tathawwu’ (sunnah). Rasulullah SAW bersabda : “Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi)”. [dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Muslim]. Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini : “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka”. Dalam Syarh Muslim [7 : 82], Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdhol dari sedekah yang hukumnya sunnah”. 
  2. Jika mencari nafkah dengan ikhlas, akan menuai pahala besar. Rasulullah SAW bersabda : “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu”. [dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, diriwayatkan oleh Bukhari].  
  3. Memberi nafkah termasuk sedekah. Rasulullah SAW bersabda : “Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah”. [dari al Miqdam bin Ma’dikarib, diriwayatkan oleh Ahmad]  
  4. Harta yang dinafkahi semakin berkah dan akan diberi ganti. Rasulullah SAW  bersabda : “Tidaklah para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata : “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang berinfak”. Yang lain mengatakan : “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang pelit”. [dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim]. Seseorang yang memberi nafkah untuk keluarganya termasuk berinfak sehingga termasuk dalam keutamaan hadits ini.  
  5. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban apakah ia benar memperhatikan nafkah untuk keluarganya. Rasulullah SAW bersabda : “Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin”. [dari Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Tirmidzi]. Dalam riwayat lain disebutkan : “Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia memperhatikan atau melalaikannya”. [HR. Ibnu Hibban] 
  6. Memperhatikan nafkah keluarga akan mendapat penghalang dari siksa neraka. Rasulullah SAW bersabda : “Selamatkanlah diri kalian dari neraka walau hanya melalui sedekah dengan sebelah kurma”. [HR. Bukhari].
Bakhil dan kikir adalah sifat tercela. Allah SWT telah memberikan ancaman berupa kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu untuk memberinya. Apabila seorang suami bakhil dan tidak mau memenuhi nafkah anak dab isterinya, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah SWT dengan meninggalkan kewajiban yang dibebankan kepadanya, sehingga ia berhak mendapat ancaman siksa dari Allah. 
Ya Allah.. berikanlah kami taufik untuk mencari nafkah dengan ikhlas dengan cara yang halal dan mampu menjalankan setiap kewajiban sesuai tuntunan syari’at, sehingga kami pun terbebas dari siksa neraka dan dimasukkan dalam surga... amiin.


-----
al-Qur'an & Hadits dan berbagai sumber

Comments